PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang Masalah
Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya mistisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk agar menyatu dengan tuhan.
Doktrin Ibnu ‘Arabi tentang Wahdatul Wujud dan insan kamil telah mewarnai keragaman pemikiran tentang tawasuf. Dan juga merupakan tokoh tasawuf yang fenomenal dalam peradaban Islam. Pemikirannya juga spiritualis yang berkelahiran Spanyol kali ini menghentak-hentak kesadaran dan kemapanan dalam perkembangan ilmu tasawuf. Perbedaan dalam pandangan tasawuf merupakan hal biasa, karena para ahli sufi untuk mendekatkan diri kepada tuhannya dengan jalan dan cara yang berbeda-beda.
Terlebih tema-tema yang diusung menyangkut hakikat dan makna hidup yang tak pernah berhenti. Karena terpinggirkannya pemikiran dan ajaran Ibn ‘Arabi adalah terbatasnya para pengikutnya dan literatur yang tersebar dan karakteristik dengan bahasa agama yang berbenturan dengan bahasa budaya perpaduan dan tradisi tasawuf dengan mengekspresikan pengalaman, penghayatan komitmen dan konsep keragaman dimensi metafisis transendental.
Dengan demikian memahami pemikiran tasawuf Ibnu Arabi yang fenomenal akan menambah khazanah ke-ilmuan dan mengambil hikmah dari sejarah kehidupan dan pemiran seorang tokoh tasawuf. Tasawuf dalam dunia islam merupakan sebuah jalan yang dilalui oleh para sufi untuk menemukan kebenaran hakiki yang memerlukan kesungguhan dan ketekunan seorang hamba yang ingin mendekatkan diri kepada tuhanya.
BAB II
PEMBAHASAN
- A. Definisi Tasawuf
Lafal tasawuf adalah kata jadian yang berasal dari ; تَصَوَّفَ, يَتَصَوَّفُ ,تَصَوُفاً Dari perubahan kata صَوْفًا,يَصُوفُ, صَافَ yang artinya berbuluh yang banyak, dengan arti sebenarnya adalah sufi, yang ciri khas pakainnya selalu terbuat dari bulu domba. Menurut Syeh Muhamad Amin Al-Kurdi tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal-ikhwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan Allah dan meninggalkan larangannya menuju kepada perintah-Nya.[1]
Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali mengemukakan pendapatnya Abu Bakar Al-Kattany, tasawuf adalah budi pekerti, barang siapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal, karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan nur (petunjuk) islam. Dan ahli zuhud yang jiwanya menerima (perintah) untuk melakukan beberapa akhlak terpuji, karena mereka telah melakukan suluk dengan nur (petunjuk) imannya. [2]
Tasawuf merupakan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara membersihkan jiwa dari perbuatan yang jelek dan mengisi jiwa dengan perbuatan baik, serta mencari keridhaan di jalan Allah. Mengerjakan perintah tuhan dan menjauhi larangan-Nya.
- B. Biografi Ibnu Arabi
Nama Ibnu Arabi adalah Muhyid-din Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn al-Arabi al-Hatimi ath-Tha’i al-Andalusi, yang telah terpilih untuk menjadi simbol kesucian Muhammad yang dilahirkan di Murcle, Andalusia, Spanyol. Pada 17 Ramadhan 560 atau 28 Juli 1165[3] di lingkungan keluarga yang berketurunan Arab. Dan kegiatan duniawi beliau yang amat banyak jumlahnya dan berakhir pada 28 Rabi’ul awal 638 atau 16 November 1246. Dan dia dalam suatu perjalanannya panjang dia telah membawa beliau dari Sevilla, tempat keluarganya bermukim, sampai di Damaskus, tempat peristirahatan terakhir beliau sampai sekarang masih dikunjungi orang-orang peziarah.[4] Keturunan Ibnu Arabi yang terkenal dalam sejarah tasawuf adalah Sa’addin Muhamad dan Imaddin Abu Abdullah.
Selama menetap di Seville, Ibn al-Arabi dengan memanfaatkan perjalanannya untuk mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka. Salah satu kunjungannya yang sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan Ibn Rusyd (w. 595 / 1198) di Cordova. Percakapannya dengan filsuf besar ini membuktikan kecermelangannya yang luar biasa dalam wawasan spiritual dan intelektual.
Dalam bidang tasawuf Ibn Arabi pernah belajar kepada beberapa tokoh pada masanya, di antaranya: Musa bin Umran al-Miratliy, Ibn Abbas al-Uryaniy, Abu Abdullah Mujahid, Abu Abdullah Qasum, Abul Hajjaj al-Syibrabalsiy. Di antara guru-guru spiritual Ibn al-Arabi terdapat dua wanita lanjut usia : Yasamin (sering pula disebut dengan Syams) dari Marchena dan Fatimah dari Cordova. Ia sangat mengagumi kedua wanita itu dan mengakui jasa mereka dalam memperkaya kehidupan spiritualnya. Pada perjalanannya tahun 590/1193 dia mengadakan perjalanan itu pertama kali Ibn al-‘Arabi ke semenanjung Iberia. Di sana dia belajar Khal al-Na’ Laya oleh Ibn Qasi, pemimpin sufi yang melakukan pemberontakan terhadap dinasti al-Munabbitin di Algerve. Ia kemudian menulis karya dengan berbagai komentar. Dan yang sama ia juga mengunjungi ‘Abd al-Aziz al-Mahdawi, dengan dikirimnya ruh al-Quds, al-Kinani, guru al-Mahdawi, dengan ajaran al-Kumi dan al-Mawruri.[5]
- C. Karya-karya Ibnu Arabi
Pertama-pertama karya Ibn al-Arabi, sebenarnya sebuah risalah doktrin yang bersifat metafisis dan ma’rifat (tanpa suatu pengenalan awal lebih dahulu) yang mengambil al-Qur’an dan sunnah sebagai sumbernya. Karena penguasaannya yang dapat dikatakan sebagai penafsiran yang berwenang menjelaskan doktrin-doktrin esoteric (tasawuf) Islam. Yang terlihat dengan “Misykat al-Anwar” yang terjemahannya sempurna. Dan ada karya-karya yang lain, yang sangat penting adalah “futuhat” dan “fushush al-hikam”.[6]
Ibnu Arabi banyak mengarang kitab, sebagai seorang ahli sufi Ibnu Arabi mengarang banyak kitab, diantara karyanya adalah: Ikhtisar Al-Muhalla, merupakan ringkasan kitab Al-Muhalla Ibnu Hazm. Kitab Al-Muhajjah al-Baida’ fi al-Ahkam al-syar’iyah, Al-Hikam wa al-Syara’I, Asrar Takbirat Al-Shalah, jami’ Al-Ahkam fi Ma’rifat al-Halal wa al-Haram, Ruh Al-Qiyas, risalah fi Ushul al-Fiqh.[7]
- D. Konsep Tasawuf Ibnu Arabi
- Wahdatul Wujud
Wihadat al-wujud adalah ungkapan dua kata, yaitu wihdat dan al-wujud. Wihdat artinya sendiri tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud adrtinya ada. Dengan demikian wihdat al-wujud berarti kesatuan wujud.[8] Menurut ulama klasik ada yang mengartikan wihdah sebagai sesuatu yang dzatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Menurut para ahli filsafat dan sufisme al-wihdah sebagai satu kesatuan antara materi dan roh, subtansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak dan yang bathin, antara alam dan Allah.
Konsep kesatuan wujud sendiri sangat kompleks dan sulit ditangkap. Ibnu Arabi memberikan ilistrasi tentang bagaimana hubungan antara tuhan dan alam dalam konsep kesatuan wujudnya. “ wajah sebenarnya satu, tapi jika engkau perbanyak cermin, maka ia akan menjadi banyak.” Segala macam benda dan mahluk yang terdapat di alam semesta sebagai manifestasi (tajalliyat) tuhan.[9]
Faham wahdat al-wujud oleh Ibn al-Arabi menjadi Khalq –makhluk– dan lahut menjadi haq –Tuhan–. Khalq dan haq [10]adalah dua aspek bagi tiap sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haq.[11]
Konsep dasar pertama dari filsafat Ibn ‘Arabi adalah pengakuan bahwa hanya ada dzat tunggal saja, dan tidak ada yang mewujud selain itu. Istilah Arab untuk mewujud-wujud, yang dapat disamakan dengan kepribadian (eksisten). Perbedaan, yang banyak dilakukan di masa kini, antara mewujud dan mengada (being and existence) tidak dilakukan oleh Ibn Arabi. Maka ketika dia mengatakan bahwa hanya ada zat tunggal, menurutnya yaitu : Bahwa semua yang ada adalah zat tunggal, Bahwa zat tunggal tidak terpecah ke dalam bagiannya[12], Bahwa tidaklah ada berlebih di sini atau juga tidak kekurangan di sana. Oleh sebab itu, dalam setiap kepribadian tidaklah ada sesuatu kecuali zat tunggal, yang secara mutlak tak terpecahkan atau terbagikan dan seragam.[13]
Dengan kata lain, makhluk atau yang dijadikan, wujudnya tergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajib. Tegasnya yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Wujud selain dari Tuhan adalah wujud bayangan. Dalam Al-Qur’an dijelaskan:
هُوَالأَوَّلُ وَاّلأَخِرُ وَالظَّهِرُ وَاّلبَاطِنُ وَهُوَبِكُلِّ شَيّئٍ عَلِيّمُ
Artinya: “ dialah yang awal dan yang akhir dan yang dahir dan yang bathin dan dia maha mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. 57:3)
Dalam pandangan sufi, yang dimaksud dengan dzahir adalah sifat-sifat Allah yang tampak, sedangkan yang bathin adalah dzat-Nya. Manusia dianggap mempunyai tersebut karena manusia berasal dari pancaran tuhan, sehingga antara manusia dengan tuhan pada hakikatnya satu wujud. Perbedaanya hanya rupa dan ragam.
- 2. Insan Kamil (manusia sempurna)
Doktrin insan kamil dalam tasawuf Ibnu Arabi, selain terkait erat dengan doktrin wahdatul wujud dari inti ajaran tasawuf ibnu arabi. Bahwa manusia mencakup dalam dirinya semua nama dan sifat tuhan. Konsekuensi ontologis sifat teomorfis ini, yang mencakup semua nama ilahi yang menampakkan dirinya pada alam sebagai keseluruhan, menjadikan manusia mencakup pula semua realitas alam. Manusia adalah totalitas alam. Karena itu, manusia disebut miniatur alam. Manusia atau tepatnya manusia sempurna adalah perpaduan[14] semua nama dan sifat tuhan serta semua realitas.[15]
Dalam konsep al-Insan al-Kamil yaitu merenungkan penampakan wajah Ilahi menampakkan wajah Tuhan yang ada pada setiap wujud dan yang berupa roh kudus dari wujud itu. Visi ini selaras dengan roh wujud ini berhubungan dengan suatu bentuk (hadharat) tertentu yang bersifat inderawi dan ragawi. Yaitu hal yang esensial bagi wujud Ilahi dengan kata lain esensi bagi Tuhan yang tak terbatas untuk memanifestasikan diri di dalam bentuk terbatas.[16]
Dalam konsep insan kamil merupakan awal dari konsep nububiyah, apabila muhamad mati sebagai tubuh, namun nur Muhamad tetap ada. Sebab dia sebagian dari tuhan.[17] Insan kamil tak lain merupakan semacam cerminan dimana al-Haq bisa melihat diri-Nya atau akal yang mengetahui kesempurnaan sifat-sifat-Nya.[18]
Preoses yang harus dilalui oleh seseorang untuk menjadi manusia sempurna adalah al-takhalluq bi ahlakillah (berahlak dengan ahlak Allah), yaitu berahlak dengan nama-nama Allah SWT. Takhalluq adalah membuat nama tuhan yang berbentuk potensial yang telah ada dalam diri kita menjadi aktual. Dengan ketaatan mutlak kepada tuhan, ketaatan itu tidak lain dari ubudiyah (penghambaan).[19]
Seorang manusia sempurna mengejawantahkan kesempurnaan manusia melalui realitas esensialnya, sebagai bentuk dari nama-nama allah, dan melalui pengejawantahan-pengejawantahan aksidentel, perwujudan luarnya mengejawantahkan nama tuhan secara nyata. Manusia-manusia adalah bersifat tetap dalam hal esensi, sebagaimana halnya dengan wujud tuhan. Namun mereka mengalami berbagai transformasi dan transmutasi dengan cara berpartisipasi dalam ke-baqa-an dan penyingkapan diri tuhan.[20]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tasawuf adalah merupakan suluk menuju tuhan yang dilakukan oleh seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta. Dengan mengerjakan perintah dan menjauhi larangan tuhan. Dalam pelaksanaanya pendekatan seorang hamba berbeda dalam bentuk dan coraknya.
Nama Ibnu Arabi adalah Muhyid-din Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn al-Arabi al-Hatimi ath-Tha’i al-Andalusi, yang telah terpilih untuk menjadi simbol kesucian Muhammad yang dilahirkan di Murcle, Andalusia, Spanyol. Pada 17 Ramadhan 560 atau 28 Juli 1165 di lingkungan keluarga yang berketurunan Arab dan meninggal di Damaskus pada 28 Rabi’ul awal 638 atau 16 November 1246.
Konsep wihdat dan al-wujud dalam pandangan Ibnu Arabi adalah kesatuan dzat yang tunggal. Namun perlu dipahami walaupun Ibnu Arabi mempunyai konsep wihadatul wujud, ibnu arabi tetap memberikan konsep tanzih dan tasybih dalam hubungan manusia dengan tuhan. Penyatuan disini yaitu penyatuan nama-nama dan sifat tuhan dalam jiwa manusia. Dengan konsep ilahiyah manusia akan menginternalisasi nama-nama dan sifat-sifat tuhan dalam dirinya. Sedangkan dalam konsep rububiyah manusia akan mengetahui tuhan dengan eksistensi kosmos sebagai wujud tuhan.
Konsep insane al-kamil dalam pandangan Ibnu Arabi, manusia merupakan pancaran tuhan dari sifat dan nama-nama tuhan yaitu manusia merupakan foto copy tuhan. Manusia adalah bayangan tuhan. Bayangan tuhan yang ideal sebagai manusia sempurna adalah nabi Muhamad.
Daftar Pustaka
Abd. Haq Ansari, Muhamad. Merajut tradisi Syari’ah Sufisme, cet.1, Jakarta; Grafindo Persada, 1997.
Arabi, Ibnu. Relung Cahaya, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1988.
Abdullah dkk, Taufiq. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid 4, Jakarta; PT Ichtiar Baru Van Hoeve. 2002.
Chittick, William C. Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi (Kreativitas Imajinasi dan persoalan diversitas Agama, cet.1, Surabaya, 2001.
________________. The Sufi Path Of Knowledge (Tuhan Sejati dan Tuhan-Tuhan Palsu), Yogyakarta; Penerbit Qalam, 2001.
Corbin, Henry. Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, cet.1, Yogyakarta; el-Kis, 2002.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 2, Jakarta; PT Ichtiar Baru Van Hoeve. 1997.
Faqih Sutan, Nurasiah. Meraih Hakikat Melalui Syariat Telaah Pemikiran Syeh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi, Bandung: PT Mizan Pustaka. 2005.
Kartanegara, Mulyadi. Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta; Penerbit Erlangga. 2006.
Mahjuddin. Akhlak Tasawuf 1 Mu’jizat Nabi, Karamah Wali dan Ma’rifat Sufi,Jakarta. Kalam Mulia, 2009.
Nasution, Harun. Filsafat Mistisisme dalam Islam, cet.1, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Pujiono, Abd.Hamid. Manusia Menyatu Dengan Tuha, Telaah Tentang Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami, Surabaya. Target Press Surabaya, 2003.
Permadi. Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta; PT Renika Cipta. 2004.
Yunus, Muhamad. Kamus Arab Indonesia, Jakarta; Hidakarya Agung, 1990.
Zaini, M. Fudoli. Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikrannya, Surabaya; Risalah Gusti. 2000.
[1] Abd.Hamid Pujiono. Manusia Menyatu Dengan Tuha, Telaah Tentang Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami, (Surabaya. Target Press Surabay, 2003). 10.
[2] Mahjuddin. Akhlak Tasawuf 1 Mu’jizat Nabi, Karamah Wali dan Ma’rifat Sufi,(Jakarta. Kalam Mulia, 2009). 67.
[3] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 2, (Jakarta; PT Ichtiar Baru Van Hoeve. 1997). 150.
[4] Ibnu ‘Arabi, Relung Cahaya, ( Jakarta; Pustaka Firdaus, 1988), 3.
[5] Ibn ‘Arabi, Relung Cahaya,5.
[6] William C. Chittick, Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi (Kreativitas Imajinasi dan persoalan diversitas Agama, cet.1, (Surabaya, 2001). 27
[7] Nurasiah Faqih Sutan. Meraih Hakikat Melalui Syariat Telaah Pemikiran Syeh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi, (Bandung: PT Mizan Pustaka. 2005), 41.
[8] Mahmud Yunus. Kamus Arab Indonesia, (Jakarta; Hidakarya Agung, 1990), 492.
[9] Mulyadi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta; Penerbit Erlangga. 2006), 36.
[10] Kesatuan antara haq dan al-khalq disini bukan kesatuan dalam wahdah madiyah (kesatuan materi), bukan bersatunya mahluk dengan tuhan, hingga mengorbankan adanya dzat tuhan. Bahwa dzat yang sesungguhnya wujud yang hakiki hanyalah wujud allah semata. Sedangkan wujud selain Allah atau wujud mahluk hanyalah wujud relative yang sepenuhnya bergantung kepada wujud yang hakiki.sebagaimana dalam al-qur’an; “ wahai umat manusia, kalian adalah fuqara’ terhadap allah, dan allah-lah yang maha kaya lagi maha terpuji”.(Q.S. Al-Fathir: 15)
[11] Harun Nasution, Filsafat Mistisisme dalam Islam, cet.1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). 92.
[12] Penyatuan dzat tuhan disini bukan dalam arti esensi (dzat)-Nya yang transenden, tetapi penyatuannya dalam arti nama-nama atau sifat-sifat tuhan. Apapun yang kita temukan di alam semesta ini merupakan manifestasi dari sifat-sifat tuhan.
[13] Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut tradisi Syari’ah Sufisme, cet.1,(Jakarta; Grafindo Persada, 1997), 168.
[14] Perpaduan disini adalah keutamaan manusia di atas mahluk yang lain yang memberinya kedudukan khalifah, sebagai hak istimewa yang tidak diberikan Allah SWT kepada mahluk lain. Perpaduan adalah syarat mutlak menduduki jabatan khalifah. Tanpa syarat ini, khalifah adalah mustahil. Satu-satunya yang memenuhi syarat untuk khalifah ini adalah manusia sebagai mahluk sempurna.
[15] Taufik Abdullah dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid 4, (Jakarta; PT Ichtiar baru Van Hoeve. 2002), 165.
[16] Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, cet.1., LKiS, Yogyakarta, 2002, hlm. 503-504
[17] Permadi. Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta; PT Renika Cipta. 2004), 101.
[18] M. Fudoli Zaini. Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikrannya, (Surabaya; Risalah Gusti. 2000), 114.
[19] Taufik Abdullah dkk.167.
[20] William C. Chittick. The Sufi Path Of Knowledge (Tuhan Sejati dan Tuhan-Tuhan Palsu), (Yogyakarta; Penerbit Qalam, 2001). 100-101.
* mahasiswa pasca sarjana IAIN sunan ampel surabaya