Setiap politisi adalah seorang negarawan, tidak semua politisi dapat menjadi negarawan.karena jumlah orang-orang yang betul-betul negarawan yang berhati nurani sangat sedikit. Yang membedakan seorang negarawan dari politisi belaka adalah wawasanya, visi dan jangkauan tanggung jawabnya dalam menjalankan amanat rakya. Indonesia adalah Negara yang subur, namun negeri ini tidak pernah selesai dengan problem konflik para penegak hokum yang lebih mementingkan individu dan kelompok. Berbicara tentang moralitas dalam politik di negeri ini cukup problematic. Apalagi kalau kita berbicara tentang demokrasi dan hak-hak rakyat Indonesia, jauh dari harapan Indonesia yang sejahtera dan maju. karena para politisi kita selalu hidup dengan konflik kepentingan pribadi dan golongan. Jika kita melihat para politisi negeri ini sangat miris sekali, degradesi moralitas para politisi jauh dari kearifan berpolitik.
Pada saat ini para elit politik Indonesia sibuk dengan problem konflik cicak dan buaya. Jika diamati problemnya adalah menutup-nutupi kebenaran demi kepentingan pribadi dan golongan, saling menyalahkan, sikut-menyikut itu sudah menjadi kebiasan para elit politik yang duduk santai di gedung senayan, mereka senyum diatas penderitan rakyat dan tidak mau tahu dengan penderitan yang menimpa rakyat Indonesia. Jadi di Indonesia para penegak hokum yang ingin menegakkan kebenaran adalah musuh bersama bagi para penjahat kerah putih.
Karl Marx menempatkan moralitas manusia kedalam bangunan-atas ideologis yang hanya berfungsi melegitimasikan sturuktur-struktur yang mapan, harapan bahwa perbaikan moralitas para politisi akan menunjang perbaikan dalam kehidupan masyarakatdianggap naïf, kolot, tidak realis, bahkan dicurigai sebagai ideology sendiri. Dilain pihak para politisi, pejabat dan pimpinan masyarakat terus-menerus mengkhotbai masyarakat mengenai manusia utuh dan nilai-nilai kebangsaan, kerelaan untuk berkorban dan pengendalian diri, kwajiban dan tanggung jawab dan lain sebaginya. Namun, inflasi moralisme tersebut ditandingi dengan inflasi penyelewengan, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kemunafikan dan ketakpedulian terhadap masyarakat yang selalu diinjak-injak haknya .
Pengaruh Politik Terhadap Penegak Hukum
Jika sejarah reformasi yang agak sepektakuler itu ditelusuri akan tampak dengan jelas bahwa sebenarnya ketika itu terdapat keyakinan bahwa bobroknya hokum di Indonesia selama puluhan tahun perjalannya sampai saat ini adalahsistem politik yang tidak demokratis. Itulah sebabnya, langkah penting yang ditempuh untuk mengubah struktur politik yang tidak sehat yang di praktekkan oleh para politisi negeri ini. Sehingga untujk menegakkan hokum sangat sulit bahkan menemui banyak tantangan dari sebagian para elit politik. Sesungguhnya system politik yang demokratislah yang dapat melahirkan hokum responsive dan mendorong tegaknya supremesi hokum. Sedangkan system politik yang tidak demokratis hanya akan melahirkan hokum-hukum ortodoks baik dalam pembuatannya maupun dalam penegakannya.
Hal ini menjadi niscaya karena dalam kenyataanya hokum adalah prodak politik. Dengan demikian, hokum lebih mencerminkan kehendak konfigurasi kekuasaan politik. Ada beberapa ciri hokum yang dibangun tidak demokratis sehingga hokum yang ada berkarakter konservatif dan impilikasinya buruk bagi negeri ini. Ada beberapa proses pembuatan dan pelaksanaan hokum yang tidak baik, antara lain:
Pertama, proses pembuatanya bersifat sentralistik (tidak partisipatif) yang hanya didominasi oleh lembaga-lembaga Negara yang dibentuk secara tidak demokratis, hanya untuk kekebalan kekeuasaan. Kedua, isinya lebih bersifatpositivis-instumentalistik (tidak aspiratif) dalam arti hokum lebih mencerminkan kehendak penguasa, karena hokum dijadikan alat pembenar kehendak penguasa.
Ketiga, pelaksanaannya lebih mengutamakan program dan kebijakan jangka pendek dari pada menegakkan aturan-aturan hokum yang resmi berlaku dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Keempat, penegakannya seringkali mengutamakan korps sehingga tak jarang terjadi pembelokan kasus oleh aparat dengan mengaburkan menjadi kasus pelanggaran atau kekeliruan prosedur. Lebih dari itu sering juga terlihat munculnya paranoid solidarity katika korps institusi penegak hokum membela kolegannya yang dilaporkan telah melakukan tindakan melanggar hokum.
Idealisme Politisi Dan Moralitas seorang Pemimpin
“Politisi sering dianggap bisnis yang kotor. Mencari politisi yang sungguh-sungguh dan sepi ing pamrih dianggap sama dengan mau mencari perawan dilokasi pelacuran, itulah pendapat sinisme paragmatis. Sedangkan strukturalisme eksrem berpendapat bahwa moralitas [ribadi para politisi tidak relevan. Sebuah bangsa hanya dapat maju kalau para politisi yang memimpinnya memiliki integritas dan kejujuran pribadi”.
Pertama, kejujuran dalam berpolitik. Kekotoran hakiki bisnis politik ternyata bukan hanya sebuah deskripsi, melainkan bersifat ideologis. Fungsinya ialah melicinkan jalan bagi mereka yang bersedia bermain kotor demi kepentingan mereka sendiri. Kerndahan hati para politisi yang palsu dan realisme yang bohong. Jadi bahwa sudah bukan barang tentu bahwa kita harus jujur, bukan hanya memntingkan individu dan sekolompok elit politik saja. Kita menginginkan perubahan kehidupan politik yang demokratis dan jujur. Kejujuran bukan sekadar tuntutan etika, melainkan tuntutan rasionalitas politik. Kejujuran pribadi para penguasa merupakan salah satu prasyarat agar dalam bidang politik mencapai tujuannya.
Kedua,pemberantasan korupsi dalam segala bidang pembangunan. Kita sudah sering menyaksikan orang melakukan korupsi karena ingin cepat kaya disebabkan oleh para pejabat dan keluraganya yang korup. Sehingga berdampak kepada rencana-rencana Negara tidak terlaksana karena uang menguap. Proyek-proyek penting tidak selesai-selesai, atau diselesaikan dalam kualitas yang tidak baik, departemen-departemen Negara tidak menunaikan tugasnya dengan baik dan sungguh-sungguh. Perlu juga kita perhatikan bahwa dampak korupsi dalam Negara dan masyarakat modern jauh lebih gawat dari pada dalam masyarakat tradisional. Jadi korupsi yang terorganisir akan membawa Negara menuju kehancuran. Ketidak jujuran semacam ini akan menggrogoti ketahanan nasional bangsa, melumpuhkan usaha-usaha membangun struktur-struktur social, politis dan ekonomis yang sehat dan memerosotkan kesadaran nasional. Kita secara bersama-sama memberantas tindakan korupsi,. Demi mewujudkan dan membangun suatu masyarakat modern yang adil dan makmur, sesuai dengan cita-cita masyarakat tentang harkat kehidupan bersama yang manusiawi.
Ketiga, kajujuran dalam struktur-struktur sosial. Ketidakjujuran para politisi akibat struktur-struktur social, ekonomi, politik, budaya dan ideology yang mendukung kekuasaan eksklusif kelas-kelas, penghisapan tenaga kerja orang0-orang kecil dan ketidakadilan struktur pada umumnya. Ada dua pendekatan mengenai struktur social. Yang pertama alairan radikal marxisme berpendapat bahwa sebuah revolusi social, ekonomis dan politis dapat membongkar struktur-struktur kekuasaan yang terselubung secara alamiah, aliran ini tidak relevan diimplementasikan di negeri ini. Kedua aliran moderat, aliran ini memperjuangkan perubahan struktur-struktur kekuasaan langkah demi langkah melalui tuntutan demokrasi yang didukung oleh desakan-desakan golongan social yang tidak puas dengan keadaan meeka dan kesadaran bahwa stabilitas nasional akan bertambah apabila golongan-golongan masyarakat secara keseluruhan ikut berpartisipasi dalam menentukan bangsa dan dengan demikian ikut memiliki Negara seperti Negara indonesia.
Prasyarat bagi kejujuran para pejabat dan politisi adalah kontroling masyarakat terhadap kekuasaan elit politik. Korupsi dan ketidakjujuran merupakan akibat kekuasaan yang tak tekontrol, sesuai dengan ucapan terkenal Lord Acton bahwa power corrupts and absolute power corrupts absolutely.
* Mahasiswa pasca sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya